Ketika Sun Zi Menang di Khandaq, Tapi Gagal di Parit Eropa
HISTORY - Penggunaan parit dalam peperangan menjadi salah satu strategi yang telah dikenal banyak peradaban dunia selama berabad-abad. Taktik ini biasanya digunakan untuk mempertahankan wilayah atau untuk menghalau laju pergerakan musuh.
Dalam sejarah dunia Islam, Perang Khandaq menjadi salah satu contoh dari penggunaan taktik ini. Kemudian, dalam Perang Dunia I, penggunaan parit juga ikut mewarnai perang panjang dari negara-negara super power yang sedang berseteru itu.
Meski sama-sama menggunakan parit dalam pertempuran, ada perbedaan signifikan dalam bagaimana kedua perang ini merepresentasikan ajaran Sun Zi.
Sebenarnya, pengaplikasian ajaran Sun Zi dalam perang tidak selalu harus tercermin dalam perang yang menggunakan parit. Namun, melalui tulisan ini, saya hanya ingin berbagi sedikit sudut pandang tentang komparasi nilai ajaran Sun Zi dalam dua konflik yang menggunakan taktik parit dalam prosesnya.
Parit Pertahanan dalam Perang Khandaq
Perang Khandaq merupakan perang dalam dunia Islam yang terjadi pada 627 M atau 5 H. Perang ini melibatkan aliansi pasukan kafir Quraisy, Bani Ghatafan, serta Yahudi Bani Nadhir yang berjumlah 10.000 melawan 3.000 pasukan muslim Madinah.
Perang ini dikenal karena penggunaan parit di pihak muslim sebagai upaya mempertahankan kota Madinah dari serangan musuh. Ketika itu, parit dibuat di sebelah utara kota. Sedangkan bagian selatan, barat, dan timur kota dikelilingi bukit berbatu yang berfungsi sebagai benteng pertahanan alami.
Taktik yang diusulkan oleh Salman Al-Farisi ini sukses membuat pasukan musuh terkejut. Pasalnya, penggunaan parit dalam perang merupakan sesuatu yang baru bagi orang-orang Arab. Salman Al-Farisi membawa sesuatu dari tempat asalnya –Persia, dan berhasil mengguncangkan kelompok rival.
Parit yang kira-kita memiliki panjang 4 – 5 km dan lebar 9 meter, dengan kedalaman 3 – 5 meter itu tidak bisa dilewati oleh pasukan berkuda aliansi musuh. Parit tersebut berhasil menahan musuh untuk menyerang secara langsung.
Perang ini bertahan selama kurang-lebih satu bulan tanpa ada pertarungan besar antara kedua belah pihak. Hanya ada satu laga antara Ali bin Abi Thalib dan Amr bin Abdi Wudd. Amr berhasil memanfaatkan bagian sempit pada parit sehingga mampu melewati lubang panjang tersebut. Namun, usahanya tetap sia-sia karena ia berhasil dikalahkan oleh Ali bin Abi Thalib.
Perang Khandaq berakhir dengan kekalahan di pihak Quraisy Mekah bersama sekutunya. Waktu yang berlarut-larut telah membuat mental mereka runtuh. Perbekalan juga semakin menipis, apalagi jarak mereka yang jauh dari kampung halaman.
Selain itu, adanya pergesekan internal dalam kelompok aliansi tersebut telah membuat pertahanan mereka semakin hancur. Akhir perang ini pun ditandai oleh datangnya angin topan dahsyat yang meluluhlantakkan perkemahan mereka, hingga akhirnya memaksa mereka untuk mundur.
Menurut Syekh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri, Perang Khandaq bukan perang yang menimbulkan kerugian, tetapi merupakan perang urat syaraf. Kalahnya pasukan koalisi kafir Quraisy bukan karena serangan fisik dari pasukan muslim, melainkan karena berbagai taktik yang digunakan, salah satunya adalah penggunaan parit.
Parit Perang Dunia I
Perang Dunia I menjadi salah satu babak penting dalam sejarah dunia. Perang ini tidak hanya menceritakan tentang konflik tunggal yang mempertemukan dua negara dalam medan laga. Namun, perang ini telah melibatkan banyak negara super power, bahkan juga seluruh dunia secara umum.
Salah satu bentrokan yang terkenal dalam Perang Dunia I adalah perang antara Jerman melawan Prancis –Inggris dan Amerika bergabung dengan Prancis kemudian.
![]() |
Prajurit Prancis sedang melakukan kegiatan di dalam parit (source: www.loc.gov) |
Pada Agustus 1914, Jerman menyatakan perang terhadap Prancis. Setelah itu, Jerman berusaha memasuki wilayah Prancis melalui Belgia. Usaha mereka tersebut berhasil, namun Prancis bisa menahan laju serangan Jerman di Sungai Marne. Prancis kemudian berhasil memukul Jerman untuk mundur kira-kira 80 km ke utara.
Setelah itu, perang memasuki fase baru di mana Jerman dan Prancis sama-sama bertahan di dalam parit yang mereka bangun di wilayah pertahanan masing-masing.
Di antara kedua parit tersebut ada wilayah yang disebut “No-man’s land”. Prajurit yang berusaha menerobos wilayah ini akan diserang oleh pihak musuh dengan menggunakan tembakan, ranjau, atau serangan jarak jauh lainnya. Meski terkesan menjadi perang pasif, peperangan ini memakan korban jiwa yang sangat besar.
Parit yang digunakan kedua belah pihak ini sedikit berbeda dengan parit yang ada di Perang Khandaq. Jika parit dalam sejarah umat Islam tersebut digunakan untuk menghalau musuh saja, maka parit di Perang Dunia I memiliki peran lebih dari itu. Parit ini digunakan juga sebagai tempat tinggal, tempat menyimpan amunisi, dan tempat menyerang musuh jarak jauh.
Namun, kondisi dalam parit saat itu bisa dikatakan sangat memprihatinkan. Lumpur yang kerap menggenang hingga setinggi betis menyebabkan berbagai penyakit, bahkan tak jarang berujung pada kematian. Perang yang berlangsung selama bertahun-tahun ini pun turut berdampak serius terhadap kondisi mental para prajurit.
Perang parit tersebut dimulai sejak tahun 1914 dan berakhir bersamaan dengan selesainya Perang Dunia I pada 1918. Pasukan Jerman akhirnya bisa dipukul mundur oleh Pasukan Sekutu, khususnya ketika Amerika bergabung dengan sekutu.
Menelaah Ajaran Sun Zi pada Perang Khandaq dan Perang Parit PD I
Sun Zi merupakan seorang legenda Tiongkok yang namanya begitu masyhur dikenal orang-orang lintas generasi juga negara. Meski historisitas sosoknya masih banyak menimbulkan banyak tanya di kalangan para sejarawan, namun pemikirannya tentang taktik perang menjadi bukti bahwa ajaran tersebut telah hidup dalam masyarakat Tiongkok selama berabad-abad.
Melalui buku The Art of War, orang tidak hanya belajar tentang taktik peperangan dalam bentuk konflik fisik saja. Lebih jauh dari itu, banyak orang kemudian menjadikan buku ini sebagai rujukan dalam berbisnis, mengejar mimpi, dan lainnya.
![]() |
Buku The Art of War (source: sites.ualberta.ca) |
Salah satu kutipan dari ajaran Sun Zi yang hemat saya sangat populer adalah, “bertempur dan menang dalam segala pertempuran bukanlah keunggulan tertinggi, keunggulan tertinggi terletak pada mematahkan perlawanan musuh tanpa harus bertempur.”
Saya menyoroti ajaran ini sebagai upaya untuk memenangkan konflik dengan meminimalisir bentrokan secara langsung. Dengan kata lain, menang perang tanpa harus berperang. Namun jika perang tidak bisa dihindari, Sun Zi memberikan berbagai petuah untuk mengurangi –atau jika bisa menghindari- kerugian akibat perang, baik materil maupun immateril.
Penggunaan parit pada Perang Khandaq dari awal dilakukan sebagai upaya defensif dari serangan musuh. Taktik ini juga digunakan untuk mempertahankan kota Madinah agar tetap aman.
Kekalahan pasukan aliansi Quraisy bukan hanya bukti bahwa taktik di Perang Khandaq sejalan dengan ajaran Sun Zi. Lebih dari itu, menghindari pertempuran secara langsung ketika itu telah membawa pasukan muslim terhindar dari kerugian besar akibat perang.
Namun, sangat disayangkan bahwa dalam Perang Dunia I, parit bukan digunakan sebagai taktik awal untuk meminimalisir kerugian perang. Penggunaan parit pada perang ini dilakukan karena kedua belah pihak telah mengalami jalan buntu setelah sebelumnya bertempur secara hebat.
Keadaan ketika itu memaksa kedua belah pihak untuk bertahan dan menyerang secara jarak jauh. Perang yang berlarut-larut juga membawa banyak negatif bagi para prajurit. Padahal ajaran Sun Zi mengatakan, “prinsip perang yang paling bagus adalah cepat menang perang, tidak baik perang berlarut-larut.”
Memang benar bahwa kedua perang tersebut tidak bisa disamakan karena memiliki kondisi yang berbeda, budaya perang yang beda, juga latar belakang yang pasti tak sama. Komparasi nilai ajaran Sun Zi terhadap kedua perang tersebut mungkin dinilai tak adil. Hanya saja, saya kira ajaran Sun Zi bisa diterapkan dalam berbagai kondisi perang, terlepas dari bagaimana kondisi dan latar belakangnya.
This is HiBoo, Ciao!***
Sumber:
Andri Wang. The Art of War: Menelusuri Strategi Berperang Ala Sun Zi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 201)
Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty. Perang Dunia: Seri Pengantar Politik Global (Yogyakarta: Nusamedia, 2021)
Saut Pasaribu. Sejarah Perang Dunia (Temanggung: Desa Pustaka Indonesia, 2019)
Sun Tzu on The Art of War (England: Allandale Online Publishing, 2000)
Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfuri. Sirah Nabawiyah (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008)
Komentar
Posting Komentar