Sistem Tanam Paksa: Sejarah, Tujuan, dan Dampaknya di Indonesia
HISTORY – Sistem
Tanam Paksa merupakan salah satu episode kelam dalam sejarah Indonesia.
Penggunaan kata “paksa” pada sistem ini bukanlah berlebihan. Saat itu, rakyat
pribumi memang dipaksa untuk melaksanakan suatu ketentuan yang sepenuhnya
menguntungkan pihak Belanda.
Potensi alam tanah pertiwi yang
subur ternyata pernah menjadi sumber penderitaan. Hasil bumi yang seharusnya
menopang kesejahteraan rakyat—yang telah hidup ribuan tahun di tanah
ini—berbalik menjadi senjata penindasan. Hal itu bukan karena keinginan rakyat
Hindia Belanda (terutama di Jawa). Namun akibat keserakahan para penjajah, dan
ironisnya sebagian orang pribumi yang buta karena harta.
Sistem Tanam Paksa menekan rakyat
pribumi untuk menanam tanaman ekspor selama puluhan tahun. Bukan hanya alam
yang dieksploitasi, tenaga manusia pun diperas untuk kepentingan produksi
kolonial.
Meski menguntungkan secara
finansial bagi Belanda, Sistem Tanam Paksa tidak bertahan selamanya. Gelombang
kritik dari berbagai pihak membuat kebijakan ini perlahan diberhentikan, hingga
resmi berakhir pada abad ke-19.
Sejarah Sistem Tanam Paksa
Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
berlangsung pada 1830–1870. Kebijakan ini pertama kali diperkenalkan oleh
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1780–1844).
Saat itu, Belanda tengah menghadapi
defisit anggaran akibat peperangan yang nyaris tiada henti. Di kancah
internasional, Belanda harus berhadapan dengan Prancis dan Belgia. Sementara di
wilayah koloninya—Hindia Belanda—pemerintah kolonial menghadapi berbagai
pemberontakan, seperti Perang Padri (1821–1837) dan Perang Diponegoro
(1825–1830).
Untuk menutup kekurangan anggaran
tersebut, Van den Bosch—yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal pada 16 Januari
1830—menerapkan Sistem Tanam Paksa di Hindia Belanda. Kebijakan ini utamanya
diberlakukan di Pulau Jawa dan mencakup 18 keresidenan: Banten, Priangan,
Krawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Banyumas, Kedu, Bagelen, Semarang, Jepara,
Rembang, Surabaya, Pasuruan, Besuki, Pacitan, Madiun, dan Kediri.
Melalui kebijakan ini, rakyat
diwajibkan menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, nila/indigo, teh, dan
lainnya—dengan tiga komoditas pertama sebagai primadona produksi. Petani
diminta menyisihkan 20% (seperlima) dari lahannya untuk tanaman ekspor.
Misalnya, jika seorang petani memiliki lahan 1 hektare untuk padi, maka 2.000
m² harus ditanami kopi, tebu, atau nila.
Hasil tanaman tersebut wajib diserahkan kepada pemerintah kolonial untuk kemudian dijual atau dilelang di Eropa melalui Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM), Perusahaan Dagang Belanda. Sistem ini terbukti menutup defisit bahkan menghasilkan surplus besar; selama 40 tahun penerapannya, batig slot (saldo untung) yang masuk ke kas Belanda mencapai f784 juta (gulden).
Namun, di balik keuntungan bagi Belanda, Sistem Tanam Paksa menjadi mimpi buruk bagi rakyat pribumi. Praktik di lapangan sering melenceng dari aturan di atas kertas. Lahan yang seharusnya hanya seperlima kerap dipaksa menjadi separuh atau bahkan seluruhnya untuk tanaman ekspor.
![]() |
Potret Johannes, Graaf van den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Source: rijksmuseum.nl |
Bagi mereka yang tidak memiliki
lahan, kewajiban berubah menjadi kerja rodi untuk pemerintah selama 75 hari
setahun sebagai bentuk pajak. Harga beli hasil panen juga ditetapkan rendah,
sehingga merugikan petani. Gagal panen seringkali tidak diimbangi keringanan,
membuat beban rakyat semakin berat. Ironisnya, penindasan tak hanya datang dari
pejabat kolonial, tetapi juga dari sebagian kepala desa yang menjadi
perpanjangan tangan pemerintah Belanda.
Tujuan Sistem Tanam Paksa
Secara ekonomi, Sistem Tanam Paksa
bertujuan memperkaya kas negara Belanda, terutama saat defisit anggaran akibat
peperangan. Melalui sistem ini, pemerintah kolonial ingin memastikan pasokan
komoditas ekspor yang laku di pasar Eropa dan dunia, seperti kopi, teh, gula,
dan lainnya. Mereka berharap para petani yang menanam tanaman ekspor tersebut
dapat memberikan keuntungan finansial bagi Belanda.
Selain tujuan ekonomi, sistem ini
juga berfungsi sebagai kontrol sosial dan politik. Pemerintah Belanda ingin
menunjukkan pengaruhnya terhadap rakyat pribumi dengan cara mengatur aktivitas
ekonomi di Hindia Belanda. Secara tidak langsung, hal ini memungkinkan mereka
mengawasi dan mengendalikan penduduk secara ketat.
Hasil dari sistem ini juga digunakan untuk membiayai pembangunan berbagai infrastruktur penting dan megah. Beberapa contohnya adalah:
- Postkantoor Welltevreden atau Kantor Pos Pasar Baru (1853)
- Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau Museum Nasional (1862)
- Renovasi Het Paleis te Buitenzorg atau Istana Bogor (1834); dan lain sebagainya.
Dengan demikian, Sistem Tanam Paksa
bukan sekadar kebijakan ekonomi, tetapi juga strategi politik dan sosial
Belanda untuk memperkuat pengaruhnya di Hindia Belanda.
Dampak Sistem Tanam Paksa
Setiap kebijakan selalu membawa
dampak positif dan negatif, begitu pula Sistem Tanam Paksa yang diterapkan oleh Van den Bosch. Dari sisi infrastruktur, sistem ini menjadi alasan dibangunnya
banyak prasarana di Hindia Belanda, seperti jalan, bangunan, waduk, kereta api,
dan sebagainya. Meski tampak positif, semua prasarana tersebut sebenarnya
dibangun untuk menunjang aktivitas ekonomi kolonial.
Dampak paling kentara bagi rakyat
pribumi tentu berada di sisi negatif. Banyak lahan dipaksa ditanami tanaman
ekspor di wilayah yang terdampak Sistem Tanam Paksa. Selain itu, rakyat juga
diwajibkan bekerja membangun infrastruktur penunjang produksi dan
distribusi—termasuk petani sekalipun. Karena perhatian petani terbagi untuk
tanaman paksa, padi sering gagal panen, sehingga rakyat mengalami kelaparan.
Contohnya, bencana kelaparan terjadi di Cirebon pada 1844, Demak pada 1848, dan
Grobogan pada 1849.
Sistem Tanam Paksa menimbulkan
penderitaan yang besar bagi rakyat, bahkan menyebabkan kematian akibat
kelaparan. Dampak kemanusiaan yang buruk ini memicu kritik dari berbagai pihak,
termasuk tokoh Belanda sendiri, yang paling terkenal adalah Douwes Dekker
atau Multatuli.
Karena dianggap terlalu kejam bagi
kesejahteraan rakyat pribumi, serta seiring berkembangnya sistem ekonomi
kapitalis di Belanda, Sistem Tanam Paksa akhirnya dihentikan pada 1870. Meski
demikian, di beberapa wilayah Priangan, penanaman kopi tetap berlangsung hingga
awal abad ke-20.
This is HiBoo, Ciao!***
Sumber:
Darmawan, Joko. Ketika
Nusantara Berbicara (Yogyakarta: Penerbit Deepublish, 2017).
Tim Nasional Penulisan Sejarah
Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV (Jakarta: Balai
Pustaka, Cetakan Ketujuh—2019)
Tim Penyusun PDAT. Sejarah
tentang Tanam Paksa dan Politik Etis (Tempo Publishing, 2023)
Komentar
Posting Komentar