Aku Hindania. Orang yang sama yang disebut oleh Hatta.
Tulisan ini terinspirasi dari cerpen karya Bung Hatta yang berjudul "Nasib Hindania".
***
Aku Hindania.
Orang yang sama yang disebut oleh Hatta.
Di ujung langit yang suram, aku bendung air mata—tetes yang sama
dengan apa yang aku rasakan di masa lalu. Bukan tanda bahagia, melainkan
kesedihan yang mengandung luka. Bedanya, dulu aku sakit karena Wollandia,
sekarang aku patah karena putra-putri yang selalu aku bela.
Angin Monsun Australia yang harusnya membawa kering kini ikut
tersedu melihat keadaan rumahku yang begitu memprihatinkan. Dia membawa
penghiburan: pertengkaran di dalam rumah adalah hal yang biasa. Begitulah
keluarga.
Namun, apakah itu benar-benar hal yang lumrah? Setelah pertengkaran
itu meregang nyawa, apa itu masih bisa disebut keluarga? Aku tersedu kembali.
Merintih menghadapi kenyataan yang begitu pahit. Setelah aku beri mereka
merdeka, kenapa mereka tak coba untuk hidup sejahtera? Berdampingan dengan
rukun sesuai warisan yang aku rajut: lima sila yang berharga.
Setelah Maharaja Mars Pertama dan Kedua merenggut jutaan jiwa,
dunia berikrar mengubur dentum senjata. Hak manusia dijunjung sebagai nyawa
dari perdamaian. Aku, tuan rumah yang baru ketika itu berkomitmen untuk
menciptakan situasi damai yang serupa. Kemudian aku tulis dengan darah dalam
catatan yang aku tinggalkan: bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa. Namun, kenapa malah keluargaku sendiri yang tak bisa
mengindahkan janjiku pada dunia?
Setelah Wollandia disusul Nipponia angkat kaki dari rumah ini, mestinya
tak ada lagi urusan jajah-menjajah di dalamnya. Aku pun merasa tenang, telah mewariskan
tempat tinggal yang layak bagi putra-putiku. Sebuah naungan di mana mereka bisa
bernapas merdeka, menentukan nasib sendiri, tanpa bayang-bayang intervensi bangsa lain.
Hari ini, aku tak bisa lagi tidur nyenyak. Mimpi buruk itu kembali
datang, menyamar dalam wajah yang baru. Agustus 2025, anak-anakku merintih
kesakitan, menanggung luka karena hak mereka tak lagi dipedulikan. Mereka yang
diberi mandat untuk mengelola rumah tangga justru rakus ingin menguasai harta seorang
diri. Beban yang semestinya dipikul bersama malah dilimpahkan kepada yang lemah
dan tak berkuasa.
Kala itu, aku ditinggal mati oleh seorang Brahma dari Hindustan,
lalu Wollandia datang seolah menjadi pelipur duka lara. Namun, ketamakan telah
membuka topeng sandiwara yang ia kenakan. Wollandia hanya ingin hartaku,
tanahku, juga berkat alamku. Aku sakit. Terkhianati. Hari ini, aku sakit
kembali. Menyaksikan anak-anakku melakukan hal serupa sebagaimana yang
dilakukan bapak tiri mereka—ingin kuasa dan kaya raya dengan menginjak keringat
darah mereka yang takut untuk bersuara.
Aku Hindania. Orang yang sama yang disebut oleh Hatta.
Dari dahulu, aku pakaikan baju berwarna merah dan putih kepada
putra-putriku. Selalu aku tegaskan, “Jadilah berani, jangan takut. Kita adalah
bangsa yang kuat, jangan pernah tunduk lagi kepada orang lain. Tapi, tetaplah
jadi suci. Kita adalah bangsa beragama. Ingatlah Tuhan. Berbuat baiklah kepada
sesama manusia. Jangan berbuat kerusakan.” Begitu tuturku. Sialnya, anak-anakku
menyalahartikan pesanku. Merah tak lagi berarti berani, itu berubah menjadi
tumpah darah karena ketamakan. Putih yang harusnya bermakna suci berubah
menjadi tanda menyerah atas nafsu keserakahan. Aku sakit. Benar-benar sakit.
Meski tersayat luka yang dalam, aku tidak menutup mata. Puja-puji kuhaturkan untuk anak-anakku yang masih peka pada perikemanusiaan.
Mereka masih terus menggaungkan kesetaraan—keadilan kolektif sebagaimana pesan
sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mereka
tidak buta, tidak tuli, dan tidak diam. Mereka bersuara dengan cara masing-masing, lantang menentang kelaliman. Berbekal empati terhadap ketidakadilan, mereka membentuk barisan, bersatu padu menyadarkan saudara mereka
yang mungkin khilaf dalam bersikap.
Hari ini, 4 September 2025. Dengan hati yang
masih tersayat, aku merentangkan tangan, menyambut anak-anakku yang gugur di tangan saudara mereka
sendiri—sepuluh jiwa dengan nama, cerita, dan luka yang berbeda. Semoga
setelah ini, tak ada lagi nyawa yang harus terenggut, darah yang bercucur, air
mata kesedihan yang tak bisa dibendung, atau rasa sakit yang lahir akibat ketidakadilan.
Aku Hindania. Orang yang sama yang disebut Hatta.
This is HiBoo, Ciao!***
Catatan:
"Nasib Hindania" merupakan cerpen karya Bung Hatta yang pertama kali terbit di majalah Jong Sumatra pada tahun 1920, ketika beliau masih berusia 17-18 tahun. Karya ini menjadi prosa pertamanya yang diterbitkan melalui media cetak. Bung Hatta berhasil menyajikan sebuah karya prosa yang berisi sejarah, penderitaan, serta harapan bangsa Indonesia yang dikemas apik melalui alegoris yang ciamik. Setelah membaca karya beliau tersebut, saya tiba-tiba terinspirasi untuk menulis karya serupa. Hasil tulisan saya tentu bukan tandingan coretan mewah Bung Hatta. Namun melalui upaya kecil ini, saya hanya berharap bisa terus menulis, sebagaimana Bung Hatta yang tak bisa lepas dari penanya.
Komentar
Posting Komentar